TEORI KONTRAK SOSIAL
Teori kontrak sosial yang menjadi salah satu teori utama
menghurai kewujudan negara yang perlu difahami ialah asas dan semangat kontrak
sosial itulah yang menjadi landasan kewujudan kontrak sosial kita. Justeru,
tidak timbul soal pemimpin memutarbelitkan makna kontrak sosial daripada
pencipta asalnya.
Perlu difahami, tiada satu pun teori dalam dunia ini dapat
diikuti sepenuhnya. Latar belakang sejarah dan budaya sesebuah negara mesti
diambil kira. Malah, negara Barat sendiri tidak dapat mengikut sepenuhnya erti
kontrak sosial yang diteorikan oleh pencipta asalnya.
Teori
kontrak sosial menjelaskan negara dibentuk atas kehendak dan kesediaan anggota
masyarakat mengadakan kontrak bagi menjaga kepentingan dan keselamatan umum.
Dalam teori ciptaan tuhan (negara teokrasi) menyatakan tuhan memberi mandat
kepada raja untuk memerintah rakyat dan tuhan jugalah yang mencabut balik
mandat kekuasaan apabila raja dianggap tidak memerintah dengan adil.
Sebaliknya, teori kontrak sosial yang ideanya muncul pada
era pencerahan di Eropah memartabatkan ‘rasionalisme’, ‘humanaisme’ dan
‘realisme’ sebagai alur pemikiran utama. Ia meletakkan manusia sebagai pusat
gerak dan segala peristiwa dunia, bukannya tuhan. Sebagai umat Islam kita
tidaklah berpendirian demikian.
Kita
akur bahawa Sahifah Madinah yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW adalah
sebahagian kontrak sosial di antara orang Islam dan orang bukan Islam (Yahudi)
meletakkan kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai landasan utama pembentukan perlembagaan
terbabit.
Dalam membincangkan teori kontrak sosial, pemikiran Thomas
Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau perlu dirujuk kerana mereka
dianggap pencetus idea kontrak sosial. Hobbes (1588-1679) menyatakan tindakan
manusia secara kudratnya digerakkan oleh hasrat nafsu (appetite) dan keengganan
(aversion).
Appetite manusia adalah hasrat terhadap kekuasaan, kekayaan,
kehormatan dan pengetahuan. Aversion manusia pula adalah keengganan untuk hidup
sengsara dan mati. Hasrat manusia tidak terbatas tetapi pada masa sama ia tidak
mahu hidup sengsara.
Kuasa antara sesama manusia menyebabkan kehidupan menjadi
tidak aman. Penyelesaiannya ialah manusia mencipta ‘kondisi buatan’ (lawan
kepada kondisi alamiah), iaitu apa yang dinamakan keperluan sivil.
Ini bermakna anggota masyarakat bersedia untuk bersetuju dan
bersepakat untuk melepaskan hak-hak mereka dan memindahkannya kepada badan atau
lembaga (organisasi) yang diberi kuasa tertentu bagi maksud menjaga kesepakatan
itu supaya keselamatan rakyat terpelihara.
1. Hugo Grotius
Kontrak sosial adalah perkembangan dari teori hukum alam,
terutama pandangan Grotius. Grotius memilih mengutamakan akal pikiran sebagai
sumber hukum dasar, dengan titik awal sifat sosial manusa. Grotius melihat
bahwa karakteristik manusia yang mendasar tidak hanya sekedar keinginan untuk
hidup di masyarakat, tetapi keinginan untuk hidup di masyarakat yang tertib dan
damai. Pikiran yang benar tidak hanya mengharuskan memelihara ketertiban
sosial, tetapi juga sumber semua hukum. Meski tetap mengaitkan sifat sosial
manusia dan eksistensi pikiran yang benar dengan tuhan, Grotius menegaskan
bahwa validitas kasusnya akan berkurang bahkan jika tuhan tidak ada. Grotius
membantu orang untuk mendukung pendapatnya, tanpa memandang keyakinan agamanya.
2. J.J
Rousseau
Rousseau secara tertulis Kontrak Sosial adalah
untuk menentukan bagaimana kebebasan dapat dibuat dalam masyarakat sipil, dan
kami mungkin melakukannya dengan baik untuk berhenti sejenak dan memahami apa
yang ia maksudkan dengan "kebebasan." Dalam keadaan alamiah kita
menikmati kebebasan fisik tidak memiliki pembatasan pada perilaku
kita. Dengan memasukkan ke dalam kontrak sosial, kita menempatkan
pembatasan pada perilaku kita, yang memungkinkan untuk hidup dalam sebuah
komunitas. Dengan memberikan kebebasan fisik kita, bagaimanapun, kita
memperoleh kebebasan sipil bisa berpikir rasional. Kita dapat menempatkan
sebuah memeriksa dorongan hati dan keinginan, dan dengan demikian belajar untuk
berpikir secara moral.Istilah "moralitas" hanya memiliki makna dalam
batas-batas masyarakat sipil, menurut Rousseau.
Bukan hanya kebebasan, lalu, tetapi juga rasionalitas dan
moralitas, hanya dapat dilakukan dalam masyarakat sipil. Dan masyarakat
sipil, kata Rousseau, hanya mungkin jika kita setuju dengan kontrak
sosial. Jadi, kita tidak hanya harus berterima kasih masyarakat untuk
perlindungan bersama dan perdamaian itu affords kita, kami juga berutang
rasionalitas dan moralitas kepada masyarakat sipil. Singkatnya, kita tidak
akan manusia jika kita tidak peserta aktif dalam masyarakat.
Langkah terakhir ini sangat menentukan perspektif komunitarian
yang mengadopsi Rousseau. Jika kita hanya dapat sepenuhnya manusia di
bawah naungan kontrak sosial, maka kontrak lebih penting daripada individu yang
menyetujuinya. Lagi pula, orang-orang hanya memiliki nilai karena mereka
setuju dengan kontrak itu. Kontrak ini tidak ditegaskan oleh masing-masing
individu secara terpisah begitu banyak seperti yang ditegaskan oleh kelompok
kolektif. Dengan demikian, kelompok kolektif lebih penting dari setiap
individu yang membuat itu. Penguasa dan umum akan lebih penting daripada
subyek dan kehendak khusus mereka.Rousseau bahkan lebih jauh berbicara tentang
sultan sebagai individu yang berbeda yang dapat bertindak atas kemauannya
sendiri.
Kita mungkin bereaksi terhadap argumen ini dengan pemesanan
serius, dan memang, Rousseau telah dituduh mendukung
totalitarianisme. Kita hidup di usia di mana hak-hak individu yang
dianggap sangat penting, dan menghina untuk berpikir bahwa kita hanya bagian
kecil dari keseluruhan yang lebih besar. Alih-alih membuat kebebasan
mungkin, kiranya kita bahwa sistem Rousseau mencabut kebebasan.
3. Jhon Locke
Locke
memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan
lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri
manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia
lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar
prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar
dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut
Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam
kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang
teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa
yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah
ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena
beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka
tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu
oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan
pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua,
pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan
dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan
cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh
karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power,
tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju
kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan)
dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak
menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja.
Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke
menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang
menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the
trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the
beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa
trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary
tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari
beneficiary secara sepihak.
Dari
pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa
pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan
kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat
bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari
uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan
dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan
politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih
dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah
tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan
kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini
tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
4. Thomas Hobbes
Inti pemikiran Hobbes berakar pada empirisme (berasal dari bahasa
Yunani empeiria yang berarti 'berpengalaman dalam, berkenalan
dengan'). Empirisme menyatakan bahwa pengalaman adalah asal dari segala
pengetahuan. Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang
efek-efek atau akibat-akibat berupa fakta yang dapat diamati. Segala yang
ada ditentukan oleh sebab tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu
alam. Yang nyata adalah yang dapat diamati oleh indera manusia, dan sama sekali
tidak tergantung pada rasio manusia (bertentangan dengan rasionalisme).
Dengan menyatakan yang benar hanyalah yang inderawi, Hobbes mendapatkan jaminan
atas kebenaran. Karena menganggap yang benar hanyalah yang dapat diamati
secara inderawi, maka Hobbes termasuk penganut materialisme juga.
Pandangan Hobbes tentang manusia dimulai dengan pertanyaan: apa
yang menggerakkan manusia? (what makes him tik?). Di sini, Hobbes
membandingkan manusia dengan sebuah jam tangan yang bergerak secara teratur
karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Hobbes memandang manusia secara
mekanis belaka. Manusia adalah setumpuk material yang bekerja dan bergerak
menurut hukum-hukum ilmu alam. Untuk itu, ia menyingkirkan segala macam
anggapan moral-metafisik tentang manusia. Misalnya saja, pandangan bahwa manusia
memiliki kodrat sosial, kebebasan, keabadian jiwa, dan sebagainya. Jiwa
dan akal budi hanya dianggap sebagai bagian dari proses mekanis di dalam tubuh.
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya
yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di
dalam mitologi Timur Tengah yang
amat buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu
sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan
ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia
dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.
Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa
seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau
takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa
mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu
kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut,
ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat
terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga
negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.
Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia
hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan
diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai
setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah
serigala bagi sesamanya) Keadaan ini mendorong terjadinya "perang
semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah
"keadaan alamiah" saat belum ada terbentu negara. Akan tetapi,
jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi
manusia juga terancam. Untuk itu, mereka mengadakan sebuah perjanjian
bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam
perdamaian dan ketertiban.
Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib
rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki
negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian
antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap
warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan
tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk
kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas
seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga
berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta
menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan
demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku
destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada
hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga
negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin
hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.